dLira – Gorontalo – Inilah Pegalamanku mejalani perawatan kelas 3 di rumah sakit. Berawal dari diagnosa dokter di fasilitas kesehatan pertama, Puskesmas Bongomeme, Aku diduga menderita gejalan vertigo, setelah memeriksa dan melihat gejala-gejala yang Aku alami. Setelah pemeriksaan itu Kami minta rujukan ke Poliklinik Rumah Sakit Umum Daerah Dunda, Limboto, untuk pemeriksaan lanjut oleh dokter syaraf.
Pada 16 Desember 2021 Kami memeriksakan diri ke rumah sakit rujukan, di Poliklinik syaraf. Singkat cerita, akhirnya Aku harus dirawat inap di rumah sakit umum daerah tersebut. Berdasarkan keanggotaanku di BPJS Kesehatan mandiri, Aku menjalani perawatan kelas 3.
Keputusan rawat inap diambil setelah sang dokter saraf. Ia mendiagnosa bahwa Aku terindikasi menderita stroke ringan. Dokter sempat marah dan menanyakan kenapa tidak segera periksa ke dokter saraf. Kami pun tidak bisa berkata-kata untuk menjawab pertanyaan itu. Hanya senyum di bibir, alih-alih menjawab.
Setelah diperiksa di poliklinik saraf RSUD Dunda Limboto, Aku langsung direkomendasikan untuk rawat inap. Namun sebelumnya untuk memastikan ada tidaknya gangguan di otak, aku harus menjalani CT Scan (Foto bagian dalam kepala).

“Hasilnya dua hari ya Pak,” kata petugas di ruang radiologi itu dengan ramah. Sayangnya Aku tidak sempat menanyakan siapa namanya.
Menjalani Perwatan di UGD Rumah Sakit
Ditemani istriku, Kami menuju ruang Unit Gawat Darurat (UGD) rumah sakit. Di sana Kami melapor ke petugas jaga dan menyerahkan surat rekomendasi rawat inap yang diberikan oleh dokter saraf. Segera Kami diarahkan ke tempat tidur kosong di sudut ruang UGD. Di situ Kami diminta menunggu dokter piket yang akan memeriksa.
Sembari menunggu dokter jaga, dua orang suster menghampiri Kami. Satu orang memeriksa tekanan darahku. Setelahnya seorang lagi memasang infus di tangan kananku. Mereka bekerja dengan cekatan dan terampil saat memeriksa dan melaksanakan tugasnya. Mereka juga menanyakan beberapa data yang jawabannya mereka tulis di sebuah buku besar. Dengan keramahtamahan dan senyumnya, Aku merasa nyaman dan tidak merasakan sakit berlebih saat dipasang jarum infus.
Tak lama berselang, seorang dokter jaga di UGD datang dan menanyakan kondisi yang aku rasakan.
“Selamat siang Bapak, Ibu,” sapanya dengan ramah.
“Apa yang dirasakan Pak,” sambungnya.
Akupun menjawab dengan menjelaskan kronologis pemeriksaan dokter fasilitas kesehatan pertama, hingga pemeriksaan dari dokter saraf di poliklinik. Dokter jaga itu menyimak penjelasanku dengan seksama. Sesekali dia bertanya untuk mendapat penjelasan yang lebih jelas.
“Baik Pak, dari dokter saraf, Bapak diminta agar menjalani rawat inap,” katanya setelah mendengarkan penjelasanku.
“Bagaimana Bapak mau dirawat inap, sembari menunggu hasil CT Scan?” tegasnya dengan senyum yang selalu menghiasi bibirnya.
Akupun menyetujui anjuran dokter untuk menjalani rawat inap. Dokter jaga itupun meninggalkan kami sembari berujar, “semoga segara membaik dan sembuh Pak.”
Menebus Obat di Luar Rumah Sakit
Sejurus kemudian, seorang suster menghampiri kami dan menyerahkan secarik resep.
“Ibu, tolong resepnya ditebus di apotek ya,” katanya dengan ramah.
Awalnya kami kira obat bisa ditebus di apotek rumah sakit. Tetapi setelah membaca resepnya, terdapat keterangan nama sebuah apotek. Ternyata Kami harus membeli obat di apotek yang ada di luar rumah sakit. Istriku pun bergegas membeli obat di apotek yang letaknya tepat di seberang rumah sakit.

Tidak ada penjelasan dari suster tadi, kenapa Kami harus membeli obat di luar rumah sakit. Mungkin hal seperti ini sudah lazim terjadi pada perawatan kelas 3. Kami pun berasumsi stok obat yang akan diberikan kepadaku tidak tersedia.
Tidak perlu waktu lama istriku datang dengan membawa empat butir obat. Belum sempat aku meminum obat yang telah diresepkan untukku, suster lain datang untuk membawaku foto rongsen.
“Kita foto rongsen dulu ya Pak,” ujarnya.
Dengan kursi roda, aku dibawa ke ruang radiologi. Tidak perlu mengantri, aku segera menjalankan foto torak (Foto bagian dalam dada). Hari itu dua kali aku menjalani proses foto bagian dalam tubuh. Pertama CT scan, kedua foto torak. Kedua hasil foto itu tidak langsung jadi hari itu.
“Jatah” Makan Siang
Sekembaliku dari ruang radiologi, mungkin sudah waktunya makan siang bagi pasien di rumah sakit, datang lah petugas konsumsi (demikian aku mengistilahkan), ke dalam ruang UGD, menginformasikan agar keluarga pasien mengambil makan siang, dengan membawa piring masing-masing. Sejumlah keluarga pasien bergegas mengikuti petugas konsumsi. Tak lupa mereka membawa piring dan sendok.
Kurang beruntungnya Kami, karena tidak ada persiapan untuk menjalani rawat inap, Kami tidak membawa piring. Melihat Kami tidak bereaksi, petugas konsumsi rumah sakit itu, mendatangi Kami dan bertanya singkat, “tidak ambil makan Pak.”
“Kami tidak membawa piring,” jawabku singkat.
Tanpa berkata apapun, Lelaki itu pun berlalu. Siang itu, “jatah” makan siangku terlewati. Beruntung tanteku yang berdinas di rumah sakit, membelikan Kami makan siang.
Sekira 30 menit Aku berada di ruang UGD. Selanjutnya Aku dibawa ke ruang perawatan. Ruang Neuro Irene C, ruang rawat inap kelas tiga. Itu sesuai dengan kelas perawatan bagiku. Karena Aku menggunakan fasilitas kepesertaan BPJS kesehatan mandiri kelas tiga.
Baru kali ini Aku harus menjalani rawat inap. Mungkin sudah menjadi standar fasilitas ruang perawatan kelas tiga. Dalam satu ruangan terdapat tujuh tempat tidur dan satu kamar mandi. Aku ditempatkan di tempat tidur ketujuh yang ada di ujung sudut dalam ruangan.
Tidak ada seperai maupun bantal di tempat tidur itu, apalagi guling. Sekali lagi, karena tidak ada persiapan untuk rawat inap, aku harus berbaring di atas tempat tidur tanpa alas dan bantal itu, untuk beberapa waktu.
Persiapan Peralatan Pribadi
Nasib baik masih bersamaku, hari itu Kami menyewa Bentor (salah Satu Alat transportation umum di Gorontalo) untuk mengantarku ke rumah sakit. Aku pun meminta si abang bentor untuk mengambil seluruh perlengkapan di rumah yang akan diperlukan selama menjalani rawat inap. Jarak rumah sakit tempat Aku dirawat dan rumahku, sekira 25 kilometer. Waktu tempuh dengan bentor sekira 45 sampai 60 menit. Tentu demi keamanan berkendara bentor berjalan normal. Alat transportasi ini bukan merupakan kendaraan yang bisa dipacu kecepatannya.
Urusan “jatah” makan malamku pun kembali terlewatkan. Alasannya sama, belum ada piring makan.
Singkat cerita setelah menunggu sekira lebih dari 3 jam. Perlengkapan yang aku butuhkan tiba di ruang rawat inapku. Istriku segera membongkar dan memasang seprai di tempat tidur. Tidak lupa Kami dibawakan makanan untuk makan malam Kami.
Sejumlah obat harus Aku minum. Obat berbentuk cair pun disuntikkan ke tubuhku. Dari obat pengurang nyeri, hingga insulin. Tidak ada yang spesial di malam pertamaku menjalani rawat inap. Satu yang pasti, tenaga medis yang datang merawatku dengan sangat ramah dan disertai canda ringan.
Rutinitas menjalani rawat inap dengan fasilitas perawatan kelas 3 pun dimulai.
Bersambung Bagian 2